. ♥ Home Sweet Home ♥: Juni 2011

Pages

Minggu, 05 Juni 2011

Janji Bertemu di Surga

Diposting oleh ♥ Sweet Home ♥ di 22.07 0 komentar

Al-Mubarrid menyebutkan dari Abu Kamil dari Ishaq bin Ibrahim dari Raja’ bin Amr An-Nakha’i, ia berkata, “Adalah di Kufah, terdapat pemuda tampan, dia kuat beribadah dan sangat rajin. Suatu saat dia mampir berkunjung ke kampung dari Bani An-Nakha’. Dia melihat seorang wanita cantik dari mereka sehingga dia jatuh cinta dan kasmaran. Dan ternyata, si wanita cantik ini pun begitu juga padanya. Karena sudah jatuh cinta, akhirnya pemuda itu mengutus seseorang melamarnya dari ayahnya. Tetapi si ayah mengabarkan bahwa putrinya telah dijodohkan dengan sepupunya. Walau demikian, cinta keduanya tak bisa padam bahkan semakin berkobar.

Si wanita -akhirnya- mengirim pesan lewat seseorang untuk si pemuda, bunyinya, ‘Aku telah tahu betapa besar cintamu kepadaku, dan betapa besar pula aku diuji dengan kamu. Bila kamu setuju, aku akan mengunjungimu atau aku akan mempermudah jalan bagimu untuk datang menemuiku di rumahku’.
Dijawab oleh pemuda tadi melalui orang suruhannya, ‘Aku tidak setuju dengan dua alternatif itu, ”Sesungguhnya aku merasa takut bila aku berbuat maksiat pada Rabb-ku akan adzab yang akan menimpaku pada hari yang besar.” (Yunus: 15). Aku takut pada api yang tidak pernah mengecil nyalanya dan tidak pernah padam kobarannya.’
Ketika disampaikan pesan tadi kepada si wanita, dia berkata, “Walau demikian, rupanya dia masih takut kepada Allah? Demi Allah, tak ada seseorang yang lebih berhak untuk bertakwa kepada Allah dari orang lain. Semua hamba sama-sama berhak untuk itu.” Kemudian dia meninggalkan urusan dunia dan menyingkirkan perbuatan-perbuatan buruknya serta mulai beribadah mendekatkan diri kepada Allah. Akan tetapi, dia masih menyimpan perasaan cinta dan rindu pada sang pemuda. Tubuhnya mulai kurus dan kurus menahan perasaan rindunya, sampai akhirnya dia meninggal dunia karenanya. Dan si pemuda itu seringkali berziarah ke kuburannya, dia menangis dan mendo’akannya. Suatu waktu dia tertidur di atas kuburannya. Dia bermimpi berjumpa dengan kekasihnya dengan penampilan yang sangat baik. Dalam mimpi dia sempat bertanya, “Bagaimana keadaanmu? Dan apa yang kau dapatkan setelah meninggal?”
Dia menjawab, “Sebaik-baik cinta -wahai orang yang bertanya- adalah cintamu. Sebuah cinta yang dapat menggiring menuju kebaikan”.
Pemuda itu bertanya, “Jika demikian, kemanakah kau menuju?”
Dia jawab, “Aku sekarang menuju pada kenikmatan dan kehidupan yang tak berakhir. Di Surga kekekalan yang dapat kumiliki dan tidak akan pernah rusak.”
Pemuda itu berkata, “Aku harap kau selalu ingat padaku di sana, sebab aku di sini juga tidak melupakanmu.”
Dia jawab, “Demi Allah, aku juga tidak melupakanmu. Dan aku meminta kepada Tuhanku dan Tuhanmu (Allah Ta`ala) agar kita nanti bisa dikumpulkan. Maka, bantulah aku dalam hal ini dengan kesungguhanmu dalam ibadah.”
Sumber: Kisah-Kisah Nyata Tentang Nabi, Rasul, Sahabat, Tabi`in, Orang-orang Dulu dan Sekarang, karya Ibrahim bin Abdullah Al-Hazimi, penerjemah Ainul Haris Arifin, Lc. (alsofwah.or.id)
Artikel www.KisahMuslim.com

Jumat, 03 Juni 2011

Karena Setiap Orang Menyimpan Setitik Kebaikan Dalam Jiwanya

Diposting oleh ♥ Sweet Home ♥ di 01.26 0 komentar

Muhammad Ihsan Zainuddin


Tidak semua manusia dipilih oleh Allah untuk kembali ke jalan yang lurus dan mengenal manhaj yang benar. Maka saat Allah menuntun hidup kita untuk berjalan, berbuat, bekerja, berpikir, dan berbicara sesuai dengan manhaj salaf yang shalih; itu berarti ada nikmat yang tak terkira besarnya yang harus kita syukuri. Yah, karena –sadar atau tidak- sebenarnya kita telah menjadi pilihan-pilihan Allah di bumi. Di saat banyak saudara-saudari muslim kita yang sadar untuk memperjuangkan Islam dengan manhaj apa saja, kita disadarkan oleh Allah bahwa “Generasi akhir ummat ini tidak akan menjadi generasi yang shaleh dan jaya kecuali dengan jalan yang ditempuh oleh generasi awalnya” (La yashluhu akhiru hadzihil ummah illa bima shaluha bihi awwaluha).



Dampaknya, kita merasakan keizzahan yang luar biasa dahsyatnya dalam diri kita. Kita bangga berpenampilan sebagai salah seorang ikhwan. Kita merasa mulia saat mewujud sebagai salah satu bagian dari komunitas akhawat. Salahkah? Sampai di sini mungkin tidak ada masalah. Hanya saja seringkali keizzahan itu melanggar batas-batas yang semestinya. Keizzahan itu seringkali menyeret kita menjadi merasa shaleh sendiri dan memandang rendah orang lain yang berada di luar komunitas keshalehan kita. Mungkin tidak terungkapkan dengan kata-kata, tapi ia bersembunyi dalam gerakan-gerakan hati kita. Bahkan lebih parah lagi, obsesi keshalehan kita yang begitu tinggi membuat kita memandang orang lain “yang belum shaleh” sebagai makhluk-makhluk yang sudah tidak punya harapan lagi. Kita sering menjadi “buta” tiba-tiba hingga tidak lagi melihat ada celah buat mereka untuk kembali. Kita lupa, bahwa setiap orang sesungguhnya punya setitik kebaikan itu dalam dirinya…



* * *


Izinkanlah saya untuk mengutip kisah yang sungguh-sungguh menggugah saya tentang hal ini. Sebuah kisah yang benar-benar menampar kesombongan kita yang bersembunyi di balik keshalehan lahiriah kita. Kisah ini sendiri adalah kisah nyata seorang ulama Ahlussunnah, Syekh Ahmad bin Abdurrahman Ash-Shuwayyan, yang diungkapnya dalam buku berjudul Fi al-Bina’ al-Da’wy. Kisahnya sebagai berikut…



* * *


Hari itu saya kembali dari sebuah perjalanan yang panjang. Dan di pesawat, Allah menakdirkan saya untuk duduk di samping sekelompok pemuda yang nampaknya senang sekali berfoya-foya dan berhura-hura. Tawa mereka sangat keras. Dan kegaduhan mereka pun semakin lama semakin menjadi-jadi. Kabin pesawat pun dengan cepat menjadi ruangan yang dipenuhi asap rokok mereka. Dan tampaknya sudah menjadi hikmah Allah bahwa pesawat itu benar-benar penuh, hingga tidak memungkinkan bagi saya untuk mencari tempat duduk lain.


Saya berusaha keras untuk lari dari ‘kesempitan’ ini dengan tidur. Tapi, mustahil dan sangat mustahil saya bisa tidur dalam suasana seperti itu. Maka ketika kegaduhan itu semakin membuat kejengkelan saya memuncak, saya pun mengeluarkan mushaf al-Qur’an, lalu membacanya dengan suara yang rendah. Ternyata, tidak lama kemudian sebagian dari anak-anak muda itupun mulai tenang. Sementara sebagian yang lain mulai membaca surat kabar, dan adapula yang mulai tidur dengan lelap.


Namun, tiba-tiba, salah seorang dari mereka berbicara dengan suara keras –dan ia duduk tepat di samping saya!- : “Cukup!…Cukup!”


Saya menduga suara saya terlalu keras hingga mengganggunya. Saya meminta maaf padanya. Saya pun kembali melanjutkan bacaan saya dengan suara yang membisik hingga hanya saya sendirilah yang mendengarnya. Tapi saya lihat ia menutupi kepalanya dengan kedua tangannya. Duduknya gelisah. Tidak pernah diam dan terus bergerak. Hingga ia kemudian mengangkat kepalanya dan berkata dengan penuh emosi: “Tolong! Cukuplah sudah! Cukup! Saya sudah tidak bisa bersabar lagi!”


Ia kemudian berdiri dari tempat duduknya, lalu menghilang selama beberapa lama. Tidak lama kemudian ia kembali lagi, mengucapkan salam kepada saya sembari meminta maaf. Ia terdiam. Dan saya tidak tahu apa sebenarnya yang telah terjadi. Tapi sejenak kemudian ia menoleh pada saya, dan matanya basah oleh air mata. Ia berkata sambil berbisik: “Tiga tahun lamanya, bahkan lebih…Aku tak pernah meletakkan keningku di tanah…Aku tak pernah membaca satu ayat pun! Dan…satu bulan penuh ini aku habiskan dalam perjalanan ini…tidak satupun kemaksiatan yang tidak kukerjakan. Hingga aku pun melihatmu membaca al-Qur’an…Tiba-tiba saja dunia menjadi gelap di hadapanku…dadaku sesak…Aku merasa seperti tercekik. Iya, aku merasakan setiap ayat yang engkau baca menhantam tubuhku bagai cambuk..! Aku berkata pada diriku sendiri: Sampai kapan kelalaian ini?! Kemana aku akan berjalan di jalan ini?! Lalu apa setelah semua kelalaian dan kesenangan ini?! Hingga aku pun segera lari ke kamar kecil. Anda tahu kenapa?! Karena aku merasa sangat ingin menangis. Dan aku tidak menemukan tempat sembunyi dari pandangan orang lain selain di tempat itu!!”


Demikian ia berbicara padaku…Aku pun menyampaikan kalimat-kalimat seputar taubat dan kembali pada Allah…Dan ia pun terdiam.


Ketika pesawat mendarat di bumi, pemuda itu menghentikanku. Nampak sekali ia ingin menjauh dari teman-temannya. Ia bertanya padaku, dan wajahnya menampakkan air muka yang sangat serius: “Menurut Anda, apakah Allah masih berkenan menerima taubatku?”


Aku berkata padanya: “Jika engkau jujur dan sungguh-sungguh ingin kembali pada Allah, maka Allah akan mengampuni dosa apapun.”


“Tapi aku telah melakukan terlalu banyak dosa…dosa-dosa yang begitu besar…,” ujarnya.


“Apakah engkau pernah mendengar firman Allah: “Katakanlah: Wahai hamba-hambaKu yang telah melampaui batas atas diri mereka, janganlah kalian putus asa akan rahmat Allah, sesungguhnya Allah akan mengampuni semua dosa. Sesungguhnya Dia Mahapengampun lagi Mahapengasih.” (Az-Zumar:53)??” ujarku.


Kulihat wajahnya tersenyum penuh kebahagiaan. Kedua matanya berkaca dipenuhi air mata. Ia lalu mengucapkan selamat tinggal, dan pergi berlalu…


Maha suci Allah yang Mahaagung!


Begitulah manusia. Sejauh dan setinggi apapun kedurhakaan yang telah ia lalui dan daki, tapi selalu saja ada celah kebaikan dalam jiwanya. Andai saja kita dapat berusaha sampai ke sana, lalu menyianginya dengan cinta, ia akan tumbuh dengan izin Allah.



* * *


Membaca kisah ini, membuat kita harus melihat ulang rasa izzah akan keikhwanan dan keakhawatan kita. Karena saat izzah itu menjelma menjadi kesombongan, ia tidak lagi perlu dibanggakan. Kebanggaan semacam itu hanya membuat kita meremehkan manusia lain, yang boleh jadi saat hidayah Allah bersemayam di hatinya, ia akan menjejakkan kakinya di surga terlebih dulu dibanding kita. “Izzah”seperti itu hanya akan menyebabkan kita menjadi penghalang manusia untuk meraih hidayah Allah.Wallahul musta’an.


Cipinang Muara, 24 Shafar 1426/24 Maret 2006

Kamis, 02 Juni 2011

Hakikat Sombong adalah Menolak Kebenaran dan Meremehkan Orang lain

Diposting oleh ♥ Sweet Home ♥ di 02.38 0 komentar


Bila kau lihat dia menjaga aurat dengan hijab syar'i,

janganlah kau katakan ia sombong.✿.。.:* *.:。.✿


bila kau lihat ia dalam ketaatan pada Rabbnya,

janganlah kau katakan ia sombong.✿.。.:* *.:。.✿


bila kau lihat dia menjaga adab dalam bergaulnya dengan lawan jenis,

janganlah kau katakan ia sombong.✿.。.:* *.:。.✿

bila kau lihat ia bersemangat dalam menuntut ilmu syar'i, 

janganlah kau katakan ia sombong.✿.。.:* *.:。.✿

bila kau lihat ia begitu hati hati dalam segala hal 

janganlah kau katakan ia sombong.✿.。.:* *.:。.✿

karena kesombongan adalah..Menolak Kebenaran Dan Meremehkan Manusia.


(teruntuk sahabatku,,25 Nov '10,jam 23 )

✿.。.:* *.:。.✿✿.。.:* *.:。.✿✿.。.:* *.:。.✿✿.。.:* *.:。.✿✿.。.:* *.:。.✿✿.。.:* *.:。.✿✿.。.:* *.:。.✿✿.。.:* *.:。.✿✿.。.:* *.:。.✿


Janji Bertemu di Surga

0 komentar

Al-Mubarrid menyebutkan dari Abu Kamil dari Ishaq bin Ibrahim dari Raja’ bin Amr An-Nakha’i, ia berkata, “Adalah di Kufah, terdapat pemuda tampan, dia kuat beribadah dan sangat rajin. Suatu saat dia mampir berkunjung ke kampung dari Bani An-Nakha’. Dia melihat seorang wanita cantik dari mereka sehingga dia jatuh cinta dan kasmaran. Dan ternyata, si wanita cantik ini pun begitu juga padanya. Karena sudah jatuh cinta, akhirnya pemuda itu mengutus seseorang melamarnya dari ayahnya. Tetapi si ayah mengabarkan bahwa putrinya telah dijodohkan dengan sepupunya. Walau demikian, cinta keduanya tak bisa padam bahkan semakin berkobar.

Si wanita -akhirnya- mengirim pesan lewat seseorang untuk si pemuda, bunyinya, ‘Aku telah tahu betapa besar cintamu kepadaku, dan betapa besar pula aku diuji dengan kamu. Bila kamu setuju, aku akan mengunjungimu atau aku akan mempermudah jalan bagimu untuk datang menemuiku di rumahku’.
Dijawab oleh pemuda tadi melalui orang suruhannya, ‘Aku tidak setuju dengan dua alternatif itu, ”Sesungguhnya aku merasa takut bila aku berbuat maksiat pada Rabb-ku akan adzab yang akan menimpaku pada hari yang besar.” (Yunus: 15). Aku takut pada api yang tidak pernah mengecil nyalanya dan tidak pernah padam kobarannya.’
Ketika disampaikan pesan tadi kepada si wanita, dia berkata, “Walau demikian, rupanya dia masih takut kepada Allah? Demi Allah, tak ada seseorang yang lebih berhak untuk bertakwa kepada Allah dari orang lain. Semua hamba sama-sama berhak untuk itu.” Kemudian dia meninggalkan urusan dunia dan menyingkirkan perbuatan-perbuatan buruknya serta mulai beribadah mendekatkan diri kepada Allah. Akan tetapi, dia masih menyimpan perasaan cinta dan rindu pada sang pemuda. Tubuhnya mulai kurus dan kurus menahan perasaan rindunya, sampai akhirnya dia meninggal dunia karenanya. Dan si pemuda itu seringkali berziarah ke kuburannya, dia menangis dan mendo’akannya. Suatu waktu dia tertidur di atas kuburannya. Dia bermimpi berjumpa dengan kekasihnya dengan penampilan yang sangat baik. Dalam mimpi dia sempat bertanya, “Bagaimana keadaanmu? Dan apa yang kau dapatkan setelah meninggal?”
Dia menjawab, “Sebaik-baik cinta -wahai orang yang bertanya- adalah cintamu. Sebuah cinta yang dapat menggiring menuju kebaikan”.
Pemuda itu bertanya, “Jika demikian, kemanakah kau menuju?”
Dia jawab, “Aku sekarang menuju pada kenikmatan dan kehidupan yang tak berakhir. Di Surga kekekalan yang dapat kumiliki dan tidak akan pernah rusak.”
Pemuda itu berkata, “Aku harap kau selalu ingat padaku di sana, sebab aku di sini juga tidak melupakanmu.”
Dia jawab, “Demi Allah, aku juga tidak melupakanmu. Dan aku meminta kepada Tuhanku dan Tuhanmu (Allah Ta`ala) agar kita nanti bisa dikumpulkan. Maka, bantulah aku dalam hal ini dengan kesungguhanmu dalam ibadah.”
Sumber: Kisah-Kisah Nyata Tentang Nabi, Rasul, Sahabat, Tabi`in, Orang-orang Dulu dan Sekarang, karya Ibrahim bin Abdullah Al-Hazimi, penerjemah Ainul Haris Arifin, Lc. (alsofwah.or.id)
Artikel www.KisahMuslim.com

Karena Setiap Orang Menyimpan Setitik Kebaikan Dalam Jiwanya

0 komentar

Muhammad Ihsan Zainuddin


Tidak semua manusia dipilih oleh Allah untuk kembali ke jalan yang lurus dan mengenal manhaj yang benar. Maka saat Allah menuntun hidup kita untuk berjalan, berbuat, bekerja, berpikir, dan berbicara sesuai dengan manhaj salaf yang shalih; itu berarti ada nikmat yang tak terkira besarnya yang harus kita syukuri. Yah, karena –sadar atau tidak- sebenarnya kita telah menjadi pilihan-pilihan Allah di bumi. Di saat banyak saudara-saudari muslim kita yang sadar untuk memperjuangkan Islam dengan manhaj apa saja, kita disadarkan oleh Allah bahwa “Generasi akhir ummat ini tidak akan menjadi generasi yang shaleh dan jaya kecuali dengan jalan yang ditempuh oleh generasi awalnya” (La yashluhu akhiru hadzihil ummah illa bima shaluha bihi awwaluha).



Dampaknya, kita merasakan keizzahan yang luar biasa dahsyatnya dalam diri kita. Kita bangga berpenampilan sebagai salah seorang ikhwan. Kita merasa mulia saat mewujud sebagai salah satu bagian dari komunitas akhawat. Salahkah? Sampai di sini mungkin tidak ada masalah. Hanya saja seringkali keizzahan itu melanggar batas-batas yang semestinya. Keizzahan itu seringkali menyeret kita menjadi merasa shaleh sendiri dan memandang rendah orang lain yang berada di luar komunitas keshalehan kita. Mungkin tidak terungkapkan dengan kata-kata, tapi ia bersembunyi dalam gerakan-gerakan hati kita. Bahkan lebih parah lagi, obsesi keshalehan kita yang begitu tinggi membuat kita memandang orang lain “yang belum shaleh” sebagai makhluk-makhluk yang sudah tidak punya harapan lagi. Kita sering menjadi “buta” tiba-tiba hingga tidak lagi melihat ada celah buat mereka untuk kembali. Kita lupa, bahwa setiap orang sesungguhnya punya setitik kebaikan itu dalam dirinya…



* * *


Izinkanlah saya untuk mengutip kisah yang sungguh-sungguh menggugah saya tentang hal ini. Sebuah kisah yang benar-benar menampar kesombongan kita yang bersembunyi di balik keshalehan lahiriah kita. Kisah ini sendiri adalah kisah nyata seorang ulama Ahlussunnah, Syekh Ahmad bin Abdurrahman Ash-Shuwayyan, yang diungkapnya dalam buku berjudul Fi al-Bina’ al-Da’wy. Kisahnya sebagai berikut…



* * *


Hari itu saya kembali dari sebuah perjalanan yang panjang. Dan di pesawat, Allah menakdirkan saya untuk duduk di samping sekelompok pemuda yang nampaknya senang sekali berfoya-foya dan berhura-hura. Tawa mereka sangat keras. Dan kegaduhan mereka pun semakin lama semakin menjadi-jadi. Kabin pesawat pun dengan cepat menjadi ruangan yang dipenuhi asap rokok mereka. Dan tampaknya sudah menjadi hikmah Allah bahwa pesawat itu benar-benar penuh, hingga tidak memungkinkan bagi saya untuk mencari tempat duduk lain.


Saya berusaha keras untuk lari dari ‘kesempitan’ ini dengan tidur. Tapi, mustahil dan sangat mustahil saya bisa tidur dalam suasana seperti itu. Maka ketika kegaduhan itu semakin membuat kejengkelan saya memuncak, saya pun mengeluarkan mushaf al-Qur’an, lalu membacanya dengan suara yang rendah. Ternyata, tidak lama kemudian sebagian dari anak-anak muda itupun mulai tenang. Sementara sebagian yang lain mulai membaca surat kabar, dan adapula yang mulai tidur dengan lelap.


Namun, tiba-tiba, salah seorang dari mereka berbicara dengan suara keras –dan ia duduk tepat di samping saya!- : “Cukup!…Cukup!”


Saya menduga suara saya terlalu keras hingga mengganggunya. Saya meminta maaf padanya. Saya pun kembali melanjutkan bacaan saya dengan suara yang membisik hingga hanya saya sendirilah yang mendengarnya. Tapi saya lihat ia menutupi kepalanya dengan kedua tangannya. Duduknya gelisah. Tidak pernah diam dan terus bergerak. Hingga ia kemudian mengangkat kepalanya dan berkata dengan penuh emosi: “Tolong! Cukuplah sudah! Cukup! Saya sudah tidak bisa bersabar lagi!”


Ia kemudian berdiri dari tempat duduknya, lalu menghilang selama beberapa lama. Tidak lama kemudian ia kembali lagi, mengucapkan salam kepada saya sembari meminta maaf. Ia terdiam. Dan saya tidak tahu apa sebenarnya yang telah terjadi. Tapi sejenak kemudian ia menoleh pada saya, dan matanya basah oleh air mata. Ia berkata sambil berbisik: “Tiga tahun lamanya, bahkan lebih…Aku tak pernah meletakkan keningku di tanah…Aku tak pernah membaca satu ayat pun! Dan…satu bulan penuh ini aku habiskan dalam perjalanan ini…tidak satupun kemaksiatan yang tidak kukerjakan. Hingga aku pun melihatmu membaca al-Qur’an…Tiba-tiba saja dunia menjadi gelap di hadapanku…dadaku sesak…Aku merasa seperti tercekik. Iya, aku merasakan setiap ayat yang engkau baca menhantam tubuhku bagai cambuk..! Aku berkata pada diriku sendiri: Sampai kapan kelalaian ini?! Kemana aku akan berjalan di jalan ini?! Lalu apa setelah semua kelalaian dan kesenangan ini?! Hingga aku pun segera lari ke kamar kecil. Anda tahu kenapa?! Karena aku merasa sangat ingin menangis. Dan aku tidak menemukan tempat sembunyi dari pandangan orang lain selain di tempat itu!!”


Demikian ia berbicara padaku…Aku pun menyampaikan kalimat-kalimat seputar taubat dan kembali pada Allah…Dan ia pun terdiam.


Ketika pesawat mendarat di bumi, pemuda itu menghentikanku. Nampak sekali ia ingin menjauh dari teman-temannya. Ia bertanya padaku, dan wajahnya menampakkan air muka yang sangat serius: “Menurut Anda, apakah Allah masih berkenan menerima taubatku?”


Aku berkata padanya: “Jika engkau jujur dan sungguh-sungguh ingin kembali pada Allah, maka Allah akan mengampuni dosa apapun.”


“Tapi aku telah melakukan terlalu banyak dosa…dosa-dosa yang begitu besar…,” ujarnya.


“Apakah engkau pernah mendengar firman Allah: “Katakanlah: Wahai hamba-hambaKu yang telah melampaui batas atas diri mereka, janganlah kalian putus asa akan rahmat Allah, sesungguhnya Allah akan mengampuni semua dosa. Sesungguhnya Dia Mahapengampun lagi Mahapengasih.” (Az-Zumar:53)??” ujarku.


Kulihat wajahnya tersenyum penuh kebahagiaan. Kedua matanya berkaca dipenuhi air mata. Ia lalu mengucapkan selamat tinggal, dan pergi berlalu…


Maha suci Allah yang Mahaagung!


Begitulah manusia. Sejauh dan setinggi apapun kedurhakaan yang telah ia lalui dan daki, tapi selalu saja ada celah kebaikan dalam jiwanya. Andai saja kita dapat berusaha sampai ke sana, lalu menyianginya dengan cinta, ia akan tumbuh dengan izin Allah.



* * *


Membaca kisah ini, membuat kita harus melihat ulang rasa izzah akan keikhwanan dan keakhawatan kita. Karena saat izzah itu menjelma menjadi kesombongan, ia tidak lagi perlu dibanggakan. Kebanggaan semacam itu hanya membuat kita meremehkan manusia lain, yang boleh jadi saat hidayah Allah bersemayam di hatinya, ia akan menjejakkan kakinya di surga terlebih dulu dibanding kita. “Izzah”seperti itu hanya akan menyebabkan kita menjadi penghalang manusia untuk meraih hidayah Allah.Wallahul musta’an.


Cipinang Muara, 24 Shafar 1426/24 Maret 2006

Hakikat Sombong adalah Menolak Kebenaran dan Meremehkan Orang lain

0 komentar


Bila kau lihat dia menjaga aurat dengan hijab syar'i,

janganlah kau katakan ia sombong.✿.。.:* *.:。.✿


bila kau lihat ia dalam ketaatan pada Rabbnya,

janganlah kau katakan ia sombong.✿.。.:* *.:。.✿


bila kau lihat dia menjaga adab dalam bergaulnya dengan lawan jenis,

janganlah kau katakan ia sombong.✿.。.:* *.:。.✿

bila kau lihat ia bersemangat dalam menuntut ilmu syar'i, 

janganlah kau katakan ia sombong.✿.。.:* *.:。.✿

bila kau lihat ia begitu hati hati dalam segala hal 

janganlah kau katakan ia sombong.✿.。.:* *.:。.✿

karena kesombongan adalah..Menolak Kebenaran Dan Meremehkan Manusia.


(teruntuk sahabatku,,25 Nov '10,jam 23 )

✿.。.:* *.:。.✿✿.。.:* *.:。.✿✿.。.:* *.:。.✿✿.。.:* *.:。.✿✿.。.:* *.:。.✿✿.。.:* *.:。.✿✿.。.:* *.:。.✿✿.。.:* *.:。.✿✿.。.:* *.:。.✿


 

♥ Home Sweet Home ♥ Copyright © 2009 Paper Girl is Designed by Ipietoon Sponsored by Online Business Journal