Imam Ibnu Qoyim al-Jauziyah pernah mengatakan, “Sesungguhnya setan tidak memiliki pintu masuk ke dalam dada manusia selain dari pintu nafsu. Setan senantiasa mengintai manusia, kiranya dari arah mana ia bisa masuk, lalu merusak hati serta amalan hamba tersebut. Namun setan tidak mendapati pintu masuk dan tidak pula ia dapati jalan menuju ke sana selain dari nafsunya. Lalu setan pun ikut dalam arus nafsu tersebut sebagaimana ikut larutnya racun dalam aliran darah di setiap urat-urat”.[1]
Kewajiban setiap hamba ialah memerangi setan dengan cara meninggalkan seruan nafsunya. Sesungguhnya setan tak akan berpisah dari nafsu seseorang. Seorang hamba juga harus memerangi setan dengan mengekang nafsunya, dengan senantiasa menghakiminya dalam setiap urusan secara mutlak. Berhenti sejenak setiap hendak melakukan setiap urusan agar jangan sampai ada tersisa sedikit pun bagian bagi nafsu saat ia harus berbuat atau meninggalkan sesuatu.
Ibnu Qoyim al-Jauziyah juga mengatakan, ”Sesungguhnya setan itu tatkala mendapati pada diri seorang hamba kelemahan semangat, rendahnya kemauan, serta kecenderungannya terhadap nafsu, ia akan sangat mengharapkan hamba tersebut sehingga ia pun merasukinya dan membelenggunya dengan belenggu nafsu. Dan setan itu akan menghalaunya ke arah mana yang ia kehendaki. Sedangkan tatkala setan mulai merasakan munculnya semangat yang kuat, kemuliaan jiwa, serta ketinggian kemauan, ia tidak lagi berharap pada hamba tersebut selain hanya sekedar serobotan dan mencuri-curi (kesempatannya).”[2]
Ini bukan berarti bahwa manusia tidak boleh bernafsu sama sekali. Tetapi hendaknya ia memalingkan nafsunya menuju sesuatu yang bermanfaat baginya dan untuk menunaikan sesuatu yang dikehendaki oleh Robbul‘alamin Subhanahu wa Ta’ala. Sehingga ia pun terhindar dari memperturutkan nafsunya dalam bermaksiat kepada Alloh Azza wa Jalla.
Memang, seharusnya segala sesuatu yang ada pada diri seseorang itu tidak dipergunakan selain Lillahi Ta’ala, untuk menaati Alloh Subhanahu wa Ta’ala. Sehingga Dia Subhanahu wa Ta’ala pun memeliharanya dari kejelekan penggunaan nafsu bagi dirinya dan setan. Dan sesuatu yang tidak dipergunakan Lillahi Ta’ala maka berarti ia telah menuruti nafsunya.
Ilmu pun bila tidak Lillahi Ta’ala berarti hanya untuk nafsu dan demi nafsu semata. Sebagaimana amalan bila bukan Lillahi Ta’ala maka demi pamrih, riya’, dan kemunafikan semata. Begitu juga harta bila tidak diinfakkan di jalan ketaatan kepada Alloh Azza wa Jalla, maka ia hanya diinfakkan untuk menaati nafsu dan setan semata. Kebesaran seseorang di hadapan manusia bila tidak dia gunakan untuk memenuhi perintah Alloh maka ia hanyalah memenuhi perintah nafsu dan mengenyangkannya semata. Kekuatan dan tenaga bila tidak dicurahkan untuk menunaikan ketaatan kepada Alloh maka ia hanya akan dicurahkan untuk bermaksiat kepada-Nya Subhanahu wa Ta’ala.
Maka, barang siapa yang telah membiasakan nafsunya untuk beramal Lillahi Ta’ala niscaya tidak ada sesuatu yang lebih berat bagi nafsu tersebut selain beramal kepada selain-NyaAzza wa Jalla. Sebaliknya siapa saja yang terbiasa menuruti kemauan nafsunya, maka tidak ada seuatu yang lebih berat bagi nafsu tersebut selain beramal ikhlas Lillahi Ta’ala. Itulah kenyataan para penyembah nafsu.
Alloh Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
أَرَأَيْتَ مَنِ اتَّخَذَ إِلَهَهُ هَوَاهُ أَفَأَنْتَ تَكُونُ عَلَيْهِ وَكِيلا
Terangkanlah kepadaku tentang orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai Tuhannya. Maka apakah kamu dapat menjadi pemelihara atasnya? (QS al-Furqon: 43)
أَفَرَأَيْتَ مَنِ اتَّخَذَ إِلَهَهُ هَوَاهُ وَأَضَلَّهُ اللَّهُ عَلَى عِلْمٍ وَخَتَمَ عَلَى سَمْعِهِ وَقَلْبِهِ وَجَعَلَ عَلَى بَصَرِهِ غِشَاوَةً فَمَنْ يَهْدِيهِ مِنْ بَعْدِ اللَّهِ أَفَلا تَذَكَّرُونَ (٢٣)
Maka pernahkah kamu melihat orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai Tuhannya dan Allah membiarkannya berdasarkan ilmu-Nya dan Allah Telah mengunci mati pendengaran dan hatinya dan meletakkan tutupan atas penglihatannya? Maka siapakah yang akan memberinya petunjuk sesudah Allah (membiarkannya sesat). Maka Mengapa kamu tidak mengambil pelajaran? (QS al-Jatsiyah: 23)
Menyelishi nafsu hanya bisa dilakukan atas dasar cinta yang besar kepada Alloh, berharap balasan pahala di sisi-Nya, dan takut dari ditutupnya tabir serta azab dari-Nya.
Alloh Azza wa Jalla berfirman:
وَأَمَّا مَنْ خَافَ مَقَامَ رَبِّهِ وَنَهَى النَّفْسَ عَنِ الْهَوَى .فَإِنَّ الْجَنَّةَ هِيَ الْمَأْوَى
Dan ada pun orang-orang yang takut kepada kebesaran Tuhannya dan menahan diri dari keinginan hawa nafsunya, maka sesungguhnya surgalah tempat tinggal (nya). (QS an-Nazi’at: 40-41)
Imam Ibnu Qoyim al-Jauziyah mengatakan, ”Maka nafsu itu mengajak menuju penyelewengan dan mementingkan kehidupan dunia, sedangkan Robb Subhanahu wa Ta’alamenyeru hamba-Nya menuju rasa takut kepada-Nya dan melarang setiap diri dari menuruti nafsu. Sementara hati itu berada di antara dua seruan tersebut, sesekali cenderung ke seruan yang ini, dan sesekali cenderung ke seruan yang itu. Ini adalah benar-benar ujian. Dan AllohAzza wa Jalla telah menyifati jiwa di dalam al-Qur’an dengan tiga sifat; muthmainnah,ammaroh bissuu’, dan lawwamah. Artinya: tenang, menyuruh perlakuan keji, dan berkeluh kesah.” [3]
Seseorang yang takut akan keagungan dan kebesaran Robbnya tentu tidak akan berbuat maksiat. Seandainya Alloh menakdirkan ia melakukannya sebab sifat lemah yang dimiliki oleh sifat kemanusiaannya, rasa takutnya akan segera membelokkannya menuju penyesalan yang sangat, istighfar, dan taubat kepada-Nya, sehingga tetap saja ia berada di dalam ketaatan.
Menahan nafsu merupakan titik pusat yang menguasai area ketaatan. Sementara nafsu ialah pendorong utama menuju setiap penyelewengan, melampaui batas, serta kemaksiatan. Ia juga merupakan sumber petaka dan kejahatan, yang sangat langka seseorang menuai keduanya selain dari sebab nafsunya. Maka, tidak seperti kebodohan yang mudah diatasi. Nafsu yang diperturutkan, setelah seseorang berilmu, merupakan petaka bagi dirinya. Butuh terapi yang sungguh-sungguh dan kurun waktu yang tidak singkat dalam mengobatinya.
Sedangkan takut dari Alloh Subhanahu wa Ta’ala merupakan benteng yang kokoh dalam menghadapi nafsu yang menggebu-gebu. Dan betapa sedikitnya sesuatu yang bisa tetap kokoh menghadapi nafsu selain rasa takut ini. Oleh sebab itulah Alloh Azza wa Jallamneyebutkan keduanya dalam satu ayat tersebut di atas. Perhatikanlah, bahwa Dzat yang berfirman di sini ialah Alloh Subhanahu wa Ta’ala, Sang Pencipta nafsu, Yang Mahatahu penyakit-penyakit dan bahayanya, Yang Mahatahu penjinak dan obatnya. Dia Subhanahu wa Ta’ala saja Yang Mahatahu di mana nafsu-nafsu itu akan bisa tenang dengan obat-obat penawarnya.
Alloh Azza wa Jalla telah memebebankan setiap manusia agar menahan diri dari nafsunya, menahan dengan kegigihannya. Dan agar ia memohon pertolongan dengan rasa takut kepada Alloh Subhanahu wa Ta’ala, yaitu rasa takut dari kebesaran dan keagungan Robbnya Yang Mahaagung. Dan Dia Subhanahu wa Ta’ala telah menetapkan Surga sebagai tempat kembali dan pahala bagi siapa saja yang berjihad melawan nafsunya. Yang demikian itu sebab AllohAzza wa Jalla Mahatahu kebesaran jihad ini, Mahatahu betapa tinggi nilainya dalam mentarbiyah jiwa manusia dan melempangkannya serta mengangkatnya menuju derajat kemanusiaan yang diridhoi oleh-Nya Subhanahu wa Ta’ala. Wallohulmuwaffiq.
_
[1] Roudhotul muhibbin wanuzhatul musytaqin, Ibnu Qoyim al-Jauziayah, Darul kutub al-ilmiyah, 1412 H, hlm. 474
[2] Ibid
[3] Ighotsatul lahafan, Ibnu Qoyim al-Jauziyah, Darul ma’rifah, 1395, I/75